Mihwar Idari (Bagian 1)

(Dimensi/Poros/Aspek Manajemen)

K.H. Hilmi Aminuddin

Kemudian mihwar jama’i dakwah kita harus didukung oleh mihwar idari, poros manajemen:

Ta’zizul Intima’
Idariyah kita pada hakekatnya diselenggarakan dengan pendekatan ta’zizul intima’ untuk mengokohkan dan membuktikan komitmen kita kepada dakwah ini.

Manajemen dakwah kita pertama kali harus melahirkan ta’zizul intima’, pengokohan komitmen, bukan malah membuyarkan komitmen. Ini adalah tuntutan rabbani. Al-Qur’anul karim menyatakan:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. sekiran-ya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran, 3: 159).

Saya ingatkan bahwa sesudah sampai ke azm yang dibangun melalui rahmat Allah, dan rahmat Allah tidak mungkin diraih kecuali dengan peningkatan kualitas ta’abud wa taqarub kepada Allah SWT sehingga kita menjadi orang-orang yang mustahiqiina birahmatillah, banyak menerima rahmat Allah, dengan rahmat Allah itu menjadi linta lahum, hubungan di antara kita menjadi penuh dengan kelembutan, kesantunan, keakraban, dan kemesraan.

Sebaliknya, na’udzubillah, bila hubungan itu, ghalizhal qolb, diwarnai dengan kekakuan muamalah, kegersangan hati, kerigidan dalam interaksi, potensi akan berantakan.

Maka kesadaran akan kekurangan dan kelemahan diri, serta kesadaran akan saling memback up, memperbaiki kelemahan itu akan menimbulkan fa’fu ‘anhum. Setelah memaafkan dan tanpa diminta kemudian memintakan ampun dari Allah, wastaghfirlahum, Dengan kondisi seperti itu insya Allah musyawarah kita akan menjadi produktif, wasyawirhum fil amri. Musyawarah itu menghasilkan azm. Fa idza azamta fa tawakkal ‘alallah. Dan itulah yang akan mendapat dukungan dari Allah SWT.

Manajemen dakwah kita harus melahirkan pengokohan kepada komitmen, bukan malah merusak komitmen. Na’udzubillahi min dzalik.

An-Nash-hu Wat-tasdid
Dalam mihwar idari harus ada semangat an-nash-hu wat-tasdid. Yaitu saling memberi nasihat untuk meningkatkan akurasi dalam menggunakan dan mengarahkan potensi, dalam memilih pilihan aktivitas-aktivitas dalam mengarahkan potensi kita secara akurat melalui proses tawashau bil haqqi wa tawashau bi-shabri wa tawashau bil marhamah.

Tawashau bil haqqi untuk menjaga kemungkinan penyimpangan-penyimpangan. Kemungkinan melemahnya potensi-potensi kita dari yang haq bisa ditangkal dengan tawashau bi-shabri. Dalam menghadapi tantangan dan kesulitan, bisa saja terjadi efek-efek kelemahan. Mungkin secara maknawi, minimal gamang menghadapi tantangan berat; mungkin secara fikri ragu untuk menggapai cita-cita dakwah; mungkin secara fisik menjadi lesu. Disinilah perlunya an-nash-hu wa-tasdid melalui tawashau bi-shabri.

Begitu juga dalam perjalanan dakwah, kita akan menemui resiko-resiko, na’udzubillah, musibah-musibah, kesulitan-kesulitan. Sudah barang tentu kita tidak akan membiarkan ikhwan dan akhwat menghadapi kesulitan tanpa sentuhan-sentuhan tawashau bil marhamah.

Tawashau bil marhamah untuk menghindarkan potensi kita terjebak kepada kesulitan dan kelesuan yang diakibatkan kesulitan-kesulitan hidup. Mungkin sekarang yang paling menonjol kesulitan hidup secara ekonomi. Dengan tawashau bil marhamah, betapa pun beratnya krisis yang kita hadapi, potensi dakwah tetap tegar dan segar bugar, bisa menunaikan tugas-tugasnya dengan baik.

At-Tadrib Wa Ta’hil
Dalam melaksanakan tugas-tugas, dalam menggerakkan potensi-potensinya, dakwah harus punya sifat at-tadrib wat-ta’hil, memberikan pelatihan dan peningkatan kafa’ah. Dengan demikian setiap potensi kita terlatih dan berkeahlian.***